Rabu, 29 Maret 2017

SAFAR UNTUK MENGERJAKAN HAJI/UMRAH TANPA MAHRAM ?





SAFAR UNTUK MENGERJAKAN HAJI/UMRAH TANPA MAHRAM ?
(Dari beberapa sumber)
Ahlul ilmi berbeda pendapat tentang safarnya seorang wanita tanpa disertai mahram untuk melaksanakan ibadah haji. Sebagian Ahlul ilmi berkata: “Tidak wajib bagi wanita tersebut, karena mahram termasuk As-sabiil (perjalanan ke baitullah) berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
“(Bagi) Orang yang sanggup mengadakan perjalan ke baitullah”. [Ali Imaran 97]
Mereka (ahlul ilmi) berkata: “Apabila tidak ada mahram yang menyertainya berarti wanita tersebut tidak sanggup mengadakan perjalan ke Baitullah”. Itu adalah pendapat Sufyan Ats-Tsauri dan penduduk Kufah.
Sebagian ahlul ilmi berkata: “Apabila jalan menuju ke Baitullah itu aman, maka wanita-wanita tersebut dapat keluar bersama orang banyak untuk berhaji”. Ini adalah pendapat Malik bin Anas dan Syafi’i. [Lihat Tuhfatul Ahwadzi IV/332]
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah”. [Ali Imran : 97]
Karena zhahir ayat itu adalah kesanggupan badan, maka wajib bagi setiap orang yang kuat badannya untuk berhaji, dan wanita yang tidak mendapatkan mahram (yang akan menyertainya untuk berhaji), akan tetapi kuat badannya, maka wajib bagi wanita tersebut untuk berhaji. Ketika fenomena ini sering berlawanan, para ulama’ berbeda pendapat dalam menakwilkan hal itu. [Dinukil dari Kasyful Khafa’ ‘an Ahkam safar An-Nisaa’; ta’lif : Muhammad Musa Nashr hal. 8-9]

Di antara dalil nash yang paling masyhur di kalangan kita tentang masalah ini adalah sabda nabi SAW berikut ini
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
Artinya : Dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang wanita tidak boleh mengadakan perjalanan diatas tiga hari kecuali bersama mahramnya".(HR. BUKHARI - 1024)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ ثَلَاثًا إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
تَابَعَهُ أَحْمَدُ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya : Dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang wanita tidak boleh mengadakan perjalanan diatas tiga hari kecuali bersama mahramnya". Hadits ini diikuti pula oleh Ahmad dari Ibnu Al Mubarak dari 'Ubaidillah dari Nafi' dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. (HR. BUKHARI - 1025)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ
تَابَعَهُ يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ وَسُهَيْلٌ وَمَالِكٌ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Artinya : Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu a berkata; Telah bersabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Tidak halal seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengadakan perjalanan selama satu hari satu tanpa didampingi mahramnya". Hadits ini diikuti pula oleh Yahya bin Abu Katsir, Suhail dan Malik dari Al Maqburiy dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. (HR. BUKHARI - 1026)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ فَقَالَ اخْرُجْ مَعَهَا
Artinya : Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya dan janganlah seorang laki-laki menemui seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya". Kemudian ada seorang laki-laki yang berkata: "Wahai Rasulullah, sebenarnya aku berkehendak untuk berangkat bersama pasukan perang ini dan ini namun isteriku hendak menunaikan haji". Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berangkatlah haji bersama isterimu". (HR. BUKHARI - 1729)
Namun para ulama berbeda pendapat bila tujuannya adalah untuk pergi haji. Dalam masalah mahram bagi wanita dalam pergi haji, ada dua pendapat yang berkembang.
1.      Pendapat Pertama: Mengharuskan ada mahram secara mutlak.
Dengan dalil di atas dan dalil-dalil lainnya, sebagian ulama berpendapat wanita diharamkan bepergian sejauh perjalanan 3 hari, kecuali harus benar-benar ditemani oleh mahramnya atau suaminya. Dan di antara yang berpendapat demikian antara lain: Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, An-Nakha`i, Al-Hasan, At-Tsauri dan Ishaq rahimahumullah.
Buat kalangan ini, keberadaan mahram atau suami adalah syarat mutlak yang harus terpenuhi bila seorang wanita ingin bepergian. Tanpa keberadaan salah satu dari keduanya, maka tidak halal bagi wanita untuk bepergian keluar rumah lebih dari tiga hari lamanya.
Abu Hanifah menggunakan hadits ini sebagai dalil bahwa seorang wanita yang tidak punya mahram atau tidak ada suami yang menemaninya, maka tidak wajib untuk menunaikan ibadah haji yang wajib atasnya. Hal itu juga diungkapkan oleh Ibrahim An-Nakha`i ketika seorang wanita bertanya via surat bahwa dia belum pernah menjalankan ibadah haji karena tidak punya mahram yang menemani. Maka Ibrahim An-Nakha`i menjawab bahwa anda termasuk orang yang tidak wajib untuk berhaji.
2.     Pendapat Kedua: Tidak mengharuskan secara mutlak
Sebagian ulama memahami hadits yang digunakan oleh pendapat di atas bukan sebagai syarat mutlak, melainkan sebagai sebagai gambaran tentang perhatian Islam kepada para wanita dan upaya melindungi mereka dari ketidak-amanan perjalanan.
Hal itu lantaran di masa itu memang belum ada jaminan keamanan bagi wanita yang bepergian sendirian. Sehingga keberadaan mahram atau suami adalah antisipasi dari buruknya keadaan di masa lalu, khususnya dalam perjalanan menembus padang pasir jauh dari peradaban.
Namun ketika keadaan masyarakat sudah jauh lebih baik, tidak ada lagi ancaman dan bahaya yang menghadang di tengah jalan, maka tidak lagi diperlukan mahram atau suami. Hal itu tergambar dalam sabda nabi SAW yang lainnya, seperti berikut ini:
Hal itu tergambar dalam sabda nabi SAW yang lainnya, seperti berikut ini:
و قَالَ لِي أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ هُوَ الْأَزْرَقِيُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَذِنَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِأَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي آخِرِ حَجَّةٍ حَجَّهَا فَبَعَثَ مَعَهُنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ
Dan telah berkata, kepadaku Ahmad bin Muhammad dia adalah Al Azraqiy telah menceritakan kepada kami Ibrahim dari bapaknya dari kakeknya bahwa 'Umar radliallahu 'anhu memberi izin (untuk menunaikan haji) kepada para isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada akhir haji yang dia lakukan, lalu ia mengutus 'Utsman bin 'Affan dan 'Abdurrahman bin 'Auf bersama mereka. (HR. Bukhari - 1727)
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ
بَيْنَا أَنَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا إِلَيْهِ الْفَاقَةَ ثُمَّ أَتَاهُ آخَرُ فَشَكَا إِلَيْهِ قَطْعَ السَّبِيلِ فَقَالَ يَا عَدِيُّ هَلْ رَأَيْتَ الْحِيرَةَ قُلْتُ لَمْ أَرَهَا وَقَدْ أُنْبِئْتُ عَنْهَا قَالَ فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنْ الْحِيرَةِ حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ لَا تَخَافُ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ... رواه البخارى
Artinya : Dari 'Adiy bin Hatim berkata; "Ketika aku sedang bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tiba-tiba ada seorang laki-laki mendatangi beliau mengeluhkan kefakirannya, kemudian ada lagi seorang laki-laki yang mendatangi beliau mengeluhkan para perampok jalanan". Maka beliau berkata: "Wahai "Adiy, apakah kamu pernah melihat negeri Al Hirah?". Aku jawab; "Aku belum pernah melihatnya namun aku pernah mendengar beritanya". Beliau berkata: "Seandainya kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorang wanita yang mengendarai kendaraan berjalan dari Al Hirah hingga melakukan thawaf di Ka'bah tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah".  (HR. BUKHARI - 3328)
Dari hadits yang dishahihkan oleh Al-Imam Al-Bukhari ini, para ulama pendukung pendapat kedua mengambil kesimpulan bahwa syarat kesertaan mahram itu bukan syarat mutlak, melainkan syarat yang diperlukan pada saat perjalanan keluar kota yang tidak terjamin keamanannya, baik dari kejahatan maupun dari fitnah lainnya.
Dan jelas sekali digambarkan bahwa Rasulullah SAW mengatakan bahwa suatu saat nanti akan ada wanita yang bepergian dari Hirah ke Makkah sendirian tanpa takut dari ancaman apapun. Dan bahwa seorang wanita akan berjalan sendirian, menembus gelapnya malam dan melintasi padang pasir tak bertepi, tetapi dia sama sekali tidak takut atas ancaman apapun.
Dengan amat jelasnya penggambaran nabi SAW ini, menurut para ulama, hal itu tidak lain menunjukkan hukum kebolehan seorang wanita bepergian sendirian ke luar kota, tanpa mahramatau juga suami. Dengan demikian, keberadaan mahram atau suami dibutuhkan hanya pada saat tidak adanya keamanan saja.
Ini adalah pendapat yang didukung oleh Al-Imam Malik. Al-Imam Asy-Syafi`i, Daud Azh-Zhahiri, Hasan Al-Bashri, Al-Mawardi dan lainnya. Bahkan Al-Imam Asy-syafi’i dalam salah satu pendapat beliau tidak mengharuskan jumlah wanita yang banyak tapi boleh satu saja wanita yang tsiqah. Semua mensyaratkan satu hal saja, yaitu amannya perjalanan dari fitnah.
Al-Imam Malik rahimahullah mengatakan bila aman dari fitnah, para wanita boleh bepergian tanpa mahram atau suami, asalkan ditemani oleh sejumlah wanita yang tsiqah (bisa dipercaya).
Sedangkan Al-Mawardi dari ulama kalangan As-Syafi’iyah mengatakan bahwa sebagian dari kalangan pendukung mazhab As-syafi’i berpendapat bahwa bila perjalanan itu aman dan tidak ada kekhawatiran dari khalwat antara laki dan perempuan, maka para wanita boleh bepergian tanpa mahram bahkan tanpa teman seorang wanita yang tsiqah. (bisa dipercaya).
Namun semua itu hanya berlaku untuk haji atau umrah yang sifatnya wajib. Sedangkan yang hukumnya sunnah,hukum kebolehannyatidak berlaku. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi yang menyebutkan bahwa suatu ketika akan ada wanita yang pergi haji dari kota Hirah ke Makkah dalam keadaan aman.
Selain itu pendapat yang membolehkan wanita haji tanpa mahram juga didukung dengan dalil bahwa para isteri nabi pun pergi haji di masa Umar setelah diizinkan oleh beliau. Saat itu mereka ditemani Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Demikian disebutkan dalam hadits riwayat Al-Bukhari.
Ibnu Taimiyah sebagaimana yang tertulis dalam kitab Subulus Salam mengatakan bahwa wanita yang berhaji tanpa mahram, hajinya syah. Begitu juga dengan orang yang belum mampu bila pergi haji maka hajinya syah.
Jumhur (mayoritas) ulama dari keempat mazhab mengharamkan seorang perempuan pergi umroh atau haji tanpa ditemani suami atau mahramnya (lihat, ). Namun ada sebagian pendapat dalam mazhab Syafi'i yang membolehkan hal tersebut dengan syarat (a) ditemani perempuan yang dapat dipercaya; (b) aman dari fitnah. Imam Nawawi dalam Al-Majmu Syarah Muhazab hlm. 8/342 berkata:
قال الماوردي: ومن أصحابنا من جوَّز خروجها مع نساء ثقات، كسفرها للحج الواجب، قال: وهذا خلاف نص الشافعي، قال أبو حامد: ومن أصحابنا من قال: لها الخروج بغير محرم في أي سفر كان, واجبًا كان أو غيره

ولا يجوز في التطوع وسفر التجارة والزيارة ونحوهما إلا بمحرم. وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: يَجُوْزُ بِغَيْرِ نِسَاءٍ وَلَا امْرَأَةٍ إِذَا كَانَ الطَّرِيْقُ آمِنًا. وبهذا قال الحسن البصري وداود، وقال مالك : لا يجوز بامرأة ثقة : وإنما يجوز بمحرم أو نسوة ثقات

Artinya: Al-Mawardi berkata: Sebagian ulama mazhab Syafi'i membolehkan keluarnya wanita dengan beberapa perempuan yang dapat dipercaya seperti dalam perjalanan untuk haji wajib. Al-Mawardi berkata: Ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi'i. Abu Hamid Al-Ghazali berkata: Sebagian ulama mazhab Syafi'i berpendapat: Boleh bagi wanita untuk keluar tanpa mahram dalam perjalanan apapun baik perjalanan wajib atau lainnya.

Tidak boleh dalam haji sunnah dan perjalanan bisnis, ziyarah, dan lainnya kecuali dengan mahram. Sebagian ulama mazhab Syafi'i berkata: Boleh melakukan perjalanan tanpa ditemani banyak wanita atau satu wanita apabila jalannya aman. Pendapat ini didukung oleh Hasan Al-Basri dan Dawud. Malik berkata: Tidak boleh kalau hanya dengan satu wanita. Yang boleh apabila dengan mahram atau banyak wanita.

Imam Nawawi dalam Al-Majmu
, hlm. 7/‏86, menyatakan:

إذا لم يتيسر للمرأة الخروج للحج مع زوجها أو أحد محارمها ،كان لها أن تحج مع رفقة مأمونة ، فيهم جمع من النساء موثوق بهن (اثنتان فأكثر)‏ ، ويجوز مع امرأة واحدة فى حج الفرض ، بل صرح فقهاء المذهب لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَخْرُجَ وَحْدَهَا عِنْدَ الْأَمْنِ فِى حَجِّ الْفَرِيْضَةِ ، أما فى حج النفل ، فليس لها الخروج مع نسوة ، ولو كثرن ، ولا تسافر فى النفل إلا مع زوج أو ذى رحم لأنه سفر غير واجب

Artinya: Apabila sulit bagi istri keluar haji bersama suaminya atau salah satu mahramnya maka ia boleh berhaji dengan wanita lain yang dipercaya dua atau lebih. Dan boleh bersama satu wanita dalam haji fardhu. Bahkan ahli fiqih madzhab Syafi'i menjelaskan wanita boleh keluar sendirian apabila aman dalam melaksanakan haji wajib (haji pertama kali). Sedangkan pada haji sunnah, maka wanita tidak boleh keluar bersama sesama wanita walaupun banyak juga tidak boleh melakukan perjalanan (haji) sunnah kecuali dengan suami atau kerabat mahram karena itu perjalanan yang tidak wajib.
Perjalanan di Luar Haji
Semua perbedaan pendapat di atas masih dalam koridor pergi haji bagi wanita tanpa mahram. Lalu bagaimana dengan bepergiannya wanita tanpa mahram tapi bukan untuk haji. Dalam hal ini para ulama sekali lagi berbeda pendapat.
Ø  Sebagian ulama yang membolehkan wanita bepergian sendirian, hanya membolehkan untuk haji yang wajib. Sedangkan haji yang hukumnya sunnah, bukan wajib, maka hukumnya tetap tidak boleh.
Ø  Sebagian lainnya mengatakan bahwa kebolehan wanita bepergian tanpa mahram itu hanya khusus untuk ibadah haji saja, sedangkan bila di luar kepentingan pergi haji, maka hukumnya tetap tidak boleh kecuali harus dengan mahram
Ø  Sebagian lainnya lagi mengqiyaskan kebolehan pergi yang bukan haji dengan kebolehan haji di atas. Sehingga bagi mereka, semua bentuk perjalanan yang hukumnya halal, wania boleh bepergian tanpa mahram atau suami, asalkan aman dari fitnah, atau ditemani oleh sejumlah wanita yang tsiqah. (bisa dipercaya).
Oleh :  Afif Muhadi Ahmad
والله أعلم بالصواب

Tidak ada komentar:

Posting Komentar