Rabu, 29 Maret 2017

6 KEWAJIBAN ANAK




6  KEWAJIBAN ANAK

Dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi, ia berkata,
بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلِمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِىَ مِنْ بِرِّ أَبَوَىَّ شَىْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ « نَعَمِ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَالاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا ».
“Suatu saat kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu ada datang seseorang dari Bani Salimah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya (masih tetap ada bentuk berbakti pada keduanya, pen.). (Bentuknya adalah) 1.  mendo’akan keduanya,2. meminta ampun untuk keduanya,3. memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia,4. menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga kedua orang tua yang tidak pernah terjalin dan 5. memuliakan teman dekat keduanya.” (HR. Abu Daud no. 5142 dan Ibnu Majah no. 3664. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim, juga disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةَ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّىَ
Sesungguhnya sebaik-baik bentuk berbakti (berbuat baik) adalah seseorang menyambung hubungan dengan keluarga dari kenalan baik ayahnya setelah meninggal dunia.” Sesungguhnya ayah orang ini adalah sahabat baik (ayahku) Umar (bin Al-Khattab). (HR. Muslim no. 2552)
Bisa jadi pula bentuk berbuat baik pada orang tua adalah dengan bersedekah atas nama orang tua yang telah meninggal dunia.
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya ibu dari Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia. Sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sisinya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. 6. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.” (HR. Bukhari no. 2756)
Dari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ أَوِ احْفَظْهُ
Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu atau kalian bisa menjaganya.” (HR. Tirmidzi no. 1900, Ibnu Majah no. 3663 dan Ahmad 6: 445. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
الخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الأُمِّ
“Bibi saudara ibu, kedudukannya seperti ibu.” (HR. Bukhari 2699, Abu Daud 2280, dan yang lainnya).

Ada enam hal yang bisa kita simpulkan bagaimana bentuk berbakti dengan orang tua ketika mereka berdua atau salah satunya telah meninggal dunia:
  • Mendo’akan kedua orang tua.
  • Banyak meminta ampunan pada Allah untuk kedua orang tua.
  • Memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia.
  • Menjalin hubungan silaturahim dengan keluarga dekat keduanya yang tidak pernah terjalin.
  • Memuliakan teman dekat keduanya.
  • Bersedekah atas nama orang tua yang telah tiada.
H.Afif Muhadi Ahmad

SAFAR UNTUK MENGERJAKAN HAJI/UMRAH TANPA MAHRAM ?





SAFAR UNTUK MENGERJAKAN HAJI/UMRAH TANPA MAHRAM ?
(Dari beberapa sumber)
Ahlul ilmi berbeda pendapat tentang safarnya seorang wanita tanpa disertai mahram untuk melaksanakan ibadah haji. Sebagian Ahlul ilmi berkata: “Tidak wajib bagi wanita tersebut, karena mahram termasuk As-sabiil (perjalanan ke baitullah) berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
“(Bagi) Orang yang sanggup mengadakan perjalan ke baitullah”. [Ali Imaran 97]
Mereka (ahlul ilmi) berkata: “Apabila tidak ada mahram yang menyertainya berarti wanita tersebut tidak sanggup mengadakan perjalan ke Baitullah”. Itu adalah pendapat Sufyan Ats-Tsauri dan penduduk Kufah.
Sebagian ahlul ilmi berkata: “Apabila jalan menuju ke Baitullah itu aman, maka wanita-wanita tersebut dapat keluar bersama orang banyak untuk berhaji”. Ini adalah pendapat Malik bin Anas dan Syafi’i. [Lihat Tuhfatul Ahwadzi IV/332]
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah”. [Ali Imran : 97]
Karena zhahir ayat itu adalah kesanggupan badan, maka wajib bagi setiap orang yang kuat badannya untuk berhaji, dan wanita yang tidak mendapatkan mahram (yang akan menyertainya untuk berhaji), akan tetapi kuat badannya, maka wajib bagi wanita tersebut untuk berhaji. Ketika fenomena ini sering berlawanan, para ulama’ berbeda pendapat dalam menakwilkan hal itu. [Dinukil dari Kasyful Khafa’ ‘an Ahkam safar An-Nisaa’; ta’lif : Muhammad Musa Nashr hal. 8-9]

Di antara dalil nash yang paling masyhur di kalangan kita tentang masalah ini adalah sabda nabi SAW berikut ini
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
Artinya : Dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang wanita tidak boleh mengadakan perjalanan diatas tiga hari kecuali bersama mahramnya".(HR. BUKHARI - 1024)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ ثَلَاثًا إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
تَابَعَهُ أَحْمَدُ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya : Dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang wanita tidak boleh mengadakan perjalanan diatas tiga hari kecuali bersama mahramnya". Hadits ini diikuti pula oleh Ahmad dari Ibnu Al Mubarak dari 'Ubaidillah dari Nafi' dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. (HR. BUKHARI - 1025)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ
تَابَعَهُ يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ وَسُهَيْلٌ وَمَالِكٌ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Artinya : Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu a berkata; Telah bersabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Tidak halal seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengadakan perjalanan selama satu hari satu tanpa didampingi mahramnya". Hadits ini diikuti pula oleh Yahya bin Abu Katsir, Suhail dan Malik dari Al Maqburiy dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. (HR. BUKHARI - 1026)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ فَقَالَ اخْرُجْ مَعَهَا
Artinya : Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya dan janganlah seorang laki-laki menemui seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya". Kemudian ada seorang laki-laki yang berkata: "Wahai Rasulullah, sebenarnya aku berkehendak untuk berangkat bersama pasukan perang ini dan ini namun isteriku hendak menunaikan haji". Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berangkatlah haji bersama isterimu". (HR. BUKHARI - 1729)
Namun para ulama berbeda pendapat bila tujuannya adalah untuk pergi haji. Dalam masalah mahram bagi wanita dalam pergi haji, ada dua pendapat yang berkembang.
1.      Pendapat Pertama: Mengharuskan ada mahram secara mutlak.
Dengan dalil di atas dan dalil-dalil lainnya, sebagian ulama berpendapat wanita diharamkan bepergian sejauh perjalanan 3 hari, kecuali harus benar-benar ditemani oleh mahramnya atau suaminya. Dan di antara yang berpendapat demikian antara lain: Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, An-Nakha`i, Al-Hasan, At-Tsauri dan Ishaq rahimahumullah.
Buat kalangan ini, keberadaan mahram atau suami adalah syarat mutlak yang harus terpenuhi bila seorang wanita ingin bepergian. Tanpa keberadaan salah satu dari keduanya, maka tidak halal bagi wanita untuk bepergian keluar rumah lebih dari tiga hari lamanya.
Abu Hanifah menggunakan hadits ini sebagai dalil bahwa seorang wanita yang tidak punya mahram atau tidak ada suami yang menemaninya, maka tidak wajib untuk menunaikan ibadah haji yang wajib atasnya. Hal itu juga diungkapkan oleh Ibrahim An-Nakha`i ketika seorang wanita bertanya via surat bahwa dia belum pernah menjalankan ibadah haji karena tidak punya mahram yang menemani. Maka Ibrahim An-Nakha`i menjawab bahwa anda termasuk orang yang tidak wajib untuk berhaji.
2.     Pendapat Kedua: Tidak mengharuskan secara mutlak
Sebagian ulama memahami hadits yang digunakan oleh pendapat di atas bukan sebagai syarat mutlak, melainkan sebagai sebagai gambaran tentang perhatian Islam kepada para wanita dan upaya melindungi mereka dari ketidak-amanan perjalanan.
Hal itu lantaran di masa itu memang belum ada jaminan keamanan bagi wanita yang bepergian sendirian. Sehingga keberadaan mahram atau suami adalah antisipasi dari buruknya keadaan di masa lalu, khususnya dalam perjalanan menembus padang pasir jauh dari peradaban.
Namun ketika keadaan masyarakat sudah jauh lebih baik, tidak ada lagi ancaman dan bahaya yang menghadang di tengah jalan, maka tidak lagi diperlukan mahram atau suami. Hal itu tergambar dalam sabda nabi SAW yang lainnya, seperti berikut ini:
Hal itu tergambar dalam sabda nabi SAW yang lainnya, seperti berikut ini:
و قَالَ لِي أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ هُوَ الْأَزْرَقِيُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَذِنَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِأَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي آخِرِ حَجَّةٍ حَجَّهَا فَبَعَثَ مَعَهُنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ
Dan telah berkata, kepadaku Ahmad bin Muhammad dia adalah Al Azraqiy telah menceritakan kepada kami Ibrahim dari bapaknya dari kakeknya bahwa 'Umar radliallahu 'anhu memberi izin (untuk menunaikan haji) kepada para isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada akhir haji yang dia lakukan, lalu ia mengutus 'Utsman bin 'Affan dan 'Abdurrahman bin 'Auf bersama mereka. (HR. Bukhari - 1727)
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ
بَيْنَا أَنَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا إِلَيْهِ الْفَاقَةَ ثُمَّ أَتَاهُ آخَرُ فَشَكَا إِلَيْهِ قَطْعَ السَّبِيلِ فَقَالَ يَا عَدِيُّ هَلْ رَأَيْتَ الْحِيرَةَ قُلْتُ لَمْ أَرَهَا وَقَدْ أُنْبِئْتُ عَنْهَا قَالَ فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنْ الْحِيرَةِ حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ لَا تَخَافُ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ... رواه البخارى
Artinya : Dari 'Adiy bin Hatim berkata; "Ketika aku sedang bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tiba-tiba ada seorang laki-laki mendatangi beliau mengeluhkan kefakirannya, kemudian ada lagi seorang laki-laki yang mendatangi beliau mengeluhkan para perampok jalanan". Maka beliau berkata: "Wahai "Adiy, apakah kamu pernah melihat negeri Al Hirah?". Aku jawab; "Aku belum pernah melihatnya namun aku pernah mendengar beritanya". Beliau berkata: "Seandainya kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorang wanita yang mengendarai kendaraan berjalan dari Al Hirah hingga melakukan thawaf di Ka'bah tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah".  (HR. BUKHARI - 3328)
Dari hadits yang dishahihkan oleh Al-Imam Al-Bukhari ini, para ulama pendukung pendapat kedua mengambil kesimpulan bahwa syarat kesertaan mahram itu bukan syarat mutlak, melainkan syarat yang diperlukan pada saat perjalanan keluar kota yang tidak terjamin keamanannya, baik dari kejahatan maupun dari fitnah lainnya.
Dan jelas sekali digambarkan bahwa Rasulullah SAW mengatakan bahwa suatu saat nanti akan ada wanita yang bepergian dari Hirah ke Makkah sendirian tanpa takut dari ancaman apapun. Dan bahwa seorang wanita akan berjalan sendirian, menembus gelapnya malam dan melintasi padang pasir tak bertepi, tetapi dia sama sekali tidak takut atas ancaman apapun.
Dengan amat jelasnya penggambaran nabi SAW ini, menurut para ulama, hal itu tidak lain menunjukkan hukum kebolehan seorang wanita bepergian sendirian ke luar kota, tanpa mahramatau juga suami. Dengan demikian, keberadaan mahram atau suami dibutuhkan hanya pada saat tidak adanya keamanan saja.
Ini adalah pendapat yang didukung oleh Al-Imam Malik. Al-Imam Asy-Syafi`i, Daud Azh-Zhahiri, Hasan Al-Bashri, Al-Mawardi dan lainnya. Bahkan Al-Imam Asy-syafi’i dalam salah satu pendapat beliau tidak mengharuskan jumlah wanita yang banyak tapi boleh satu saja wanita yang tsiqah. Semua mensyaratkan satu hal saja, yaitu amannya perjalanan dari fitnah.
Al-Imam Malik rahimahullah mengatakan bila aman dari fitnah, para wanita boleh bepergian tanpa mahram atau suami, asalkan ditemani oleh sejumlah wanita yang tsiqah (bisa dipercaya).
Sedangkan Al-Mawardi dari ulama kalangan As-Syafi’iyah mengatakan bahwa sebagian dari kalangan pendukung mazhab As-syafi’i berpendapat bahwa bila perjalanan itu aman dan tidak ada kekhawatiran dari khalwat antara laki dan perempuan, maka para wanita boleh bepergian tanpa mahram bahkan tanpa teman seorang wanita yang tsiqah. (bisa dipercaya).
Namun semua itu hanya berlaku untuk haji atau umrah yang sifatnya wajib. Sedangkan yang hukumnya sunnah,hukum kebolehannyatidak berlaku. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi yang menyebutkan bahwa suatu ketika akan ada wanita yang pergi haji dari kota Hirah ke Makkah dalam keadaan aman.
Selain itu pendapat yang membolehkan wanita haji tanpa mahram juga didukung dengan dalil bahwa para isteri nabi pun pergi haji di masa Umar setelah diizinkan oleh beliau. Saat itu mereka ditemani Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Demikian disebutkan dalam hadits riwayat Al-Bukhari.
Ibnu Taimiyah sebagaimana yang tertulis dalam kitab Subulus Salam mengatakan bahwa wanita yang berhaji tanpa mahram, hajinya syah. Begitu juga dengan orang yang belum mampu bila pergi haji maka hajinya syah.
Jumhur (mayoritas) ulama dari keempat mazhab mengharamkan seorang perempuan pergi umroh atau haji tanpa ditemani suami atau mahramnya (lihat, ). Namun ada sebagian pendapat dalam mazhab Syafi'i yang membolehkan hal tersebut dengan syarat (a) ditemani perempuan yang dapat dipercaya; (b) aman dari fitnah. Imam Nawawi dalam Al-Majmu Syarah Muhazab hlm. 8/342 berkata:
قال الماوردي: ومن أصحابنا من جوَّز خروجها مع نساء ثقات، كسفرها للحج الواجب، قال: وهذا خلاف نص الشافعي، قال أبو حامد: ومن أصحابنا من قال: لها الخروج بغير محرم في أي سفر كان, واجبًا كان أو غيره

ولا يجوز في التطوع وسفر التجارة والزيارة ونحوهما إلا بمحرم. وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: يَجُوْزُ بِغَيْرِ نِسَاءٍ وَلَا امْرَأَةٍ إِذَا كَانَ الطَّرِيْقُ آمِنًا. وبهذا قال الحسن البصري وداود، وقال مالك : لا يجوز بامرأة ثقة : وإنما يجوز بمحرم أو نسوة ثقات

Artinya: Al-Mawardi berkata: Sebagian ulama mazhab Syafi'i membolehkan keluarnya wanita dengan beberapa perempuan yang dapat dipercaya seperti dalam perjalanan untuk haji wajib. Al-Mawardi berkata: Ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi'i. Abu Hamid Al-Ghazali berkata: Sebagian ulama mazhab Syafi'i berpendapat: Boleh bagi wanita untuk keluar tanpa mahram dalam perjalanan apapun baik perjalanan wajib atau lainnya.

Tidak boleh dalam haji sunnah dan perjalanan bisnis, ziyarah, dan lainnya kecuali dengan mahram. Sebagian ulama mazhab Syafi'i berkata: Boleh melakukan perjalanan tanpa ditemani banyak wanita atau satu wanita apabila jalannya aman. Pendapat ini didukung oleh Hasan Al-Basri dan Dawud. Malik berkata: Tidak boleh kalau hanya dengan satu wanita. Yang boleh apabila dengan mahram atau banyak wanita.

Imam Nawawi dalam Al-Majmu
, hlm. 7/‏86, menyatakan:

إذا لم يتيسر للمرأة الخروج للحج مع زوجها أو أحد محارمها ،كان لها أن تحج مع رفقة مأمونة ، فيهم جمع من النساء موثوق بهن (اثنتان فأكثر)‏ ، ويجوز مع امرأة واحدة فى حج الفرض ، بل صرح فقهاء المذهب لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَخْرُجَ وَحْدَهَا عِنْدَ الْأَمْنِ فِى حَجِّ الْفَرِيْضَةِ ، أما فى حج النفل ، فليس لها الخروج مع نسوة ، ولو كثرن ، ولا تسافر فى النفل إلا مع زوج أو ذى رحم لأنه سفر غير واجب

Artinya: Apabila sulit bagi istri keluar haji bersama suaminya atau salah satu mahramnya maka ia boleh berhaji dengan wanita lain yang dipercaya dua atau lebih. Dan boleh bersama satu wanita dalam haji fardhu. Bahkan ahli fiqih madzhab Syafi'i menjelaskan wanita boleh keluar sendirian apabila aman dalam melaksanakan haji wajib (haji pertama kali). Sedangkan pada haji sunnah, maka wanita tidak boleh keluar bersama sesama wanita walaupun banyak juga tidak boleh melakukan perjalanan (haji) sunnah kecuali dengan suami atau kerabat mahram karena itu perjalanan yang tidak wajib.
Perjalanan di Luar Haji
Semua perbedaan pendapat di atas masih dalam koridor pergi haji bagi wanita tanpa mahram. Lalu bagaimana dengan bepergiannya wanita tanpa mahram tapi bukan untuk haji. Dalam hal ini para ulama sekali lagi berbeda pendapat.
Ø  Sebagian ulama yang membolehkan wanita bepergian sendirian, hanya membolehkan untuk haji yang wajib. Sedangkan haji yang hukumnya sunnah, bukan wajib, maka hukumnya tetap tidak boleh.
Ø  Sebagian lainnya mengatakan bahwa kebolehan wanita bepergian tanpa mahram itu hanya khusus untuk ibadah haji saja, sedangkan bila di luar kepentingan pergi haji, maka hukumnya tetap tidak boleh kecuali harus dengan mahram
Ø  Sebagian lainnya lagi mengqiyaskan kebolehan pergi yang bukan haji dengan kebolehan haji di atas. Sehingga bagi mereka, semua bentuk perjalanan yang hukumnya halal, wania boleh bepergian tanpa mahram atau suami, asalkan aman dari fitnah, atau ditemani oleh sejumlah wanita yang tsiqah. (bisa dipercaya).
Oleh :  Afif Muhadi Ahmad
والله أعلم بالصواب

ROJAB



بسم الله الرحمن الرحيم
ROJAB
Diambil dari beberapa sumber
1.     Alloh memulyakan 4 bulan dalam setahun
2.     Diantaranya adalah bulan Rojab  (Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharom)
3.     Berpuasa dibulan Rojab ada tuntunan dari Rasulullah
4.     Berdoa diajurkan oleh Alloh dan Rasululloh

سورة التوبة : 36

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ ﴿٣٦
تفســــــــير
إنّ عدة الشهور في حكم الله وفيما كُتب في اللوح المحفوظ اثنا عشر شهرًا، يوم خلق السموات والأرض، منها أربعة حُرُم؛ حرَّم الله فيهنَّ القتال
[هي: ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ورجب] ذلك هو الدين المستقيم، فلا تظلموا فيهن أنفسكم؛ لزيادة تحريمها، وكون الظلم فيها أشد منه في غيرها، لا أنَّ الظلم في غيرها جائز. وقاتلوا المشركين جميعًا كما يقاتلونكم جميعًا، واعلموا أن الله مع أهل التقوى بتأييده ونصره . كما فى تفسير الصاوى
 (Sesungguhnya bilangan bulan) jumlah bulan pertahunnya (pada sisi Allah adalah dua belas bulan dalam Kitabullah) dalam Lohmahfuz (di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya) bulan-bulan tersebut (empat bulan suci) yang disucikan, yaitu Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab. (Itulah) penyucian bulan-bulan yang empat tersebut (agama yang lurus) artinya agama yang mustaqim (maka janganlah kalian menganiaya dalam bulan-bulan tersebut) dalam bulan-bulan yang empat itu (diri kalian sendiri) dengan melakukan kemaksiatan. Karena sesungguhnya perbuatan maksiat yang dilakukan dalam bulan-bulan tersebut dosanya lebih besar lagi. Menurut suatu penafsiran disebutkan bahwa dhamir fiihinna kembali kepada itsnaa `asyara, artinya dalam bulan-bulan yang dua belas itu (dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya) seluruhnya dalam bulan-bulan yang dua belas itu (sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang takwa) pertolongan dan bantuan-Nya selalu menyertai mereka.
PUASA RAJAB
a. Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim
أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ حَكِيْمٍ اْلأَنْصَارِيِّ قَالَ: " سَأَلْتُ سَعِيْدَ بْنَ جُبَيْرٍعَنْ صَوْمِ رَجَبَ ؟ وَنَحْنُ يَوْمَئِذٍ فِيْ رَجَبَ فَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلَ لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلَ لاَ يَصُوْم. رواه مسلم أوفى كتاب جامع الاصول من احادث الرسول، مسند الصحابة فى كتب التسعة
“Sesungguhnya Ustman Ibn Hakim Al-Anshori, berkata: “Aku bertanya kepada Sa’id Ibn Jubair tentang puasa di bulan Rajab dan ketika itu kami memang di bulan Rajab”, maka Sa’id menjawab: “Aku mendengar Ibnu ‘Abbas berkata: “Nabi Muhammad SAW berpuasa (di bulan Rajab) hingga kami katakan beliau tidak pernah berbuka di bulan Rajab, dan beliau juga pernah berbuka di bulan Rajab, hingga kami katakan beliau tidak berpuasa di bulan Rajab.”
Dari riwayat tersebut di atas bisa dipahami bahwa Nabi SAW pernah berpuasa di bulan Rajab dengan utuh, dan Nabi-pun pernah tidak berpuasa dengan utuh. Artinya di saat Nabi SAW meninggalkan puasa di bulan Rajab itu menunjukan bahwa puasa di bulan Rajab bukanlah sesuatu yang wajib . Begitulah yang dipahami para ulama tentang amalan Nabi SAW, jika Nabi melakukan satu amalan kemudian Nabi meninggalkannya itu menunjukan amalan itu bukan suatu yang wajib, dan hukum mengamalkannya adalah sunnah.
b. Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah
عَنْ مُجِيْبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيْهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ :أَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالَتُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمَا تَعْرِفُنِيْ. قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيِّ الَّذِيْ جِئْتُكَ عَامَ اْلأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلاَّ بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ. ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِيْ فَإِنَّ بِيْ قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِيْ قَالَ صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِيْ قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلاَثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا. رواه أبو داود 2/322
مسند الصحابة فى كتب التسعة ، جامع الاحاديث للسيوطى ، كنز العمل ، عون المعبود
“Dari Mujibah Al-Bahiliah dari ayahnya atau pamannya sesungguhnya ia (ayah atau paman) datang kepada Rasulullah SAW kemudian berpisah dan kemudian datang lagi kepada rasulullah setelah setahun dalam keadaan tubuh yang berubah (kurus), dia berkata : Yaa Rasululallah apakah engkau tidak mengenalku? Rasulullah SAW menjawab : siapa engkau? Dia pun berkata : Aku Al-Bahili yang pernah menemuimu setahun yang lalu. Rasulullah SAW bertanya : apa yang membuatmu berubah sedangkan dulu keadaanmu baik-baik saja (segar-bugar), ia menjawab : aku tidak makan kecuali pada malam hari
(yakni berpuasa) semenjak berpisah denganmu, maka Rasulullah SAW bersabda : mengapa engkau menyiksa dirimu, berpuasalah di bulan sabar dan sehari di setiap bulan, lalu ia berkata : tambah lagi (yaa Rasulallah) sesungguhnya aku masih kuat. Rasulullah SAW berkata : berpuasalah 2 hari (setiap bulan), dia pun berkata : tambah lagi ya Rasulalloh. Rasulullah SAW berkata : berpuasalah 3 hari (setiap bulan), ia pun berkata: tambah lagi (Yaa Rasulallah), Rasulullah SAW bersabda :jika engkau menghendaki berpuasalah engkau di bulan-bulan haram (Rajab, Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah dan Muharrom) dan jika engkau menghendaki maka tinggalkanlah, beliau mengatakan hal itu tiga kali sambil menggemgam 3 jarinya kemudian membukanya.
Imam nawawi menjelaskan hadits tersebut.
قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ" إنما أمره بالترك ; لأنه كان يشق عليه إكثار الصوم كما ذكره في أول الحديث . فأما من لم يشق عليه فصوم جميعها فضيلة . المجموع 6/439
“Sabda Rasulullah SAW :
صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ
“Berpuasalah di bulan haram kemudian tinggalkanlah”
Sesungguhnya nabi saw memerintahkan berbuka kepadaorang tersebut karena dipandang puasa terus- menerus akan memberatkannya dan menjadikan fisiknya berubah. Adapun bagi orang yang tidak merasa berat untuk melakukan puasa, maka berpuasa dibulan Rajab seutuhnya adalah sebuah keutamaan. Majmu’ Syarh Muhadzdzab juz 6 hal. 439
c. Hadits riwayat Usamah Bin Zaid
قال قلت : يا رسول الله لم أرك تصوم شهرا من الشهور ما تصوم من شعبان قال ذلك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين وأحب أن يرفع عملي وأنا صائم. رواه النسائي 4/201
“Aku berkata kepada Rasulullah : Yaa Rasulallah aku tidak pernah melihatmu berpuasa sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban. Rasulullah SAW menjawab : bulan sya’ban itu adalah bulan yang dilalaikan di antara bulan Rajab dan Ramadhan, dan bulan sya’ban adalah bulan diangkatnya amal-amal kepada Allah SWT dan aku ingin amalku diangkat dalam keadaaan aku berpuasa”. HR. Imam An-Nasa’I Juz 4 Hal. 201
Imam Syaukani menjelaskan
ظاهر قوله في حديث أسامة : " إن شعبان شهر يغفل عنه الناس بين رجب ورمضان أنه يستحب صوم رجب ; لأن الظاهر أن المراد أنهم يغفلون عن تعظيم شعبان بالصوم كما يعظمون رمضان ورجبا به . نيل الأوطار 4/291
Secara tersurat yang dipahami dari hadits yang diriwayatkan oleh Usamah, Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Sya’ban adalah bulan yang sering dilalaikan manusia di antara Rajab dan Ramadhan” ini menunjukkan bahwa puasa Rajab adalah sunnah sebab bisa difahami dengan jelas dari sabda Nabi Saw bahwa mereka lalai dari mengagungkan sya’ban dengan berpuasa karena mereka sibuk mengagungkan ramadhan dan Rajab dengan berpuasa”. Naylul Author juz 4 hal 291
Hukum Puasa Rajab
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum puasa Rajab.
Pertama, mayoritas ulama dari kalangan Madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa puasa Rajab hukumnya Sunnah selama 30 hari. Pendapat ini juga menjadi qaul dalam madzhab Hanbali.
Kedua, para ulama madzhab Hanbali berpendapat bahwa berpuasa Rajab secara penuh (30 hari) hukumnya makruh apabila tidak disertai dengan puasa pada bulan-bulan yang lainnya. Kemakruhan ini akan menjadi hilang apabila tidak berpuasa dalam satu atau dua hari dalam bulan Rajab tersebut, atau dengan berpuasa pada bulan yang lain. Para ulama madzhab Hanbali juga berbeda pendapat tentang menentukan bulan-bulan haram dengan puasa. Mayoritas mereka menghukumi sunnah, sementara sebagian lainnya tidak menjelaskan kesunnahannya.
Berikut pernyataan para ulama madzhab empat tentang puasa Rajab.
Madzhab Hanafi
Dalam al-Fatawa al-Hindiyyah (1/202) disebutkan:
     في الفتاوي الهندية 1/202 : ( المرغوبات من الصيام أنواع ) أولها صوم المحرم والثاني صوم رجب والثالث صوم شعبان وصوم عاشوراء ) اه
“Macam-macam puasa yang disunnahkan adalah banyak macamnya. Pertama, puasa bulan Muharram, kedua puasa bulan Rajab, ketiga, puasa bulan Sya’ban dan hari Asyura.”
Madzhab Maliki
Dalam kitab Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/241), ketika menjelaskan puasa yang disunnahkan, al-Kharsyi berkata:
     (والمحرم ورجب وشعبان)يعني : أنه يستحب صوم شهر المحرم وهو أول الشهور الحرم , ورجب وهو الشهر الفرد عن الأشهر الحرم) اه وفي الحاشية عليه: (قوله: ورجب) , بل يندب صوم بقية الحرم الأربعة وأفضلها المحرم فرجب فذو القعدة فالحجة) اهـ
“Muharram, Rajab dan Sya’ban. Yakni, disunnahkan berpuasa pada bulan Muharram – bulan haram pertama -, dan Rajab – bulan haram yang menyendiri.” Dalam catatan pinggirnya: “Maksud perkataan pengaram, bulan Rajab, bahkan disunnahkan berpuasa pada semua bulan-bulan haram yang empat, yang paling utama bulan Muharram, lalu Rajab, lalu Dzul Qa’dah, lalu Dzul Hijjah.”
Pernyataan serupa bisa dilihat pula dalam kitab al-Fawakih al-Dawani (2/272), Kifayah al-Thalib al-Rabbani (2/407), Syarh al-Dardir ‘ala Khalil (1/513) dan al-Taj wa al-Iklil (3/220).
Madzhab Syafi’i
Imam al-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/439),
     قال الإمام النووي في المجموع 6/439: (قال أصحابنا: ومن الصوم المستحب صوم الأشهر الحرم , وهي ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ورجب , وأفضلها المحرم , قال الروياني في البحر : أفضلها رجب , وهذا غلط ; لحديث أبي هريرة الذي سنذكره إن شاء الله تعالى أفضل الصوم بعد رمضان شهر الله المحرم) اه
“Teman-teman kami (para ulama madzhab Syafi’i) berkata: “Di antara puasa yang disunnahkan adalah puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, dan yang paling utama adalah Muharram. Al-Ruyani berkata dalam al-Bahr: “Yang paling utama adalah bulan Rajab”. Pendapat al-Ruyani ini keliru, karena hadits Abu Hurairah yang akan kami sebutkan berikut ini insya Allah (“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan Muharram.”)”.
Pernyataan serupa dapat dilihat pula dalam Asna al-Mathalib (1/433), Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah (2/53),  Mughni al-Muhtaj (2/187), Nihayah al-Muhtaj (3/211) dan lain-lain.
Silakan juga lihat kita Al-hawi al-kabir fi fiqh madzhabil Imam Asy-Syafi`i karangan Abul Hasan Ali bin Muhammad :

فصل : ومن ذلك شهر رجب ، روي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه سئل : أي الصوم أفضل بعد شهر رمضان ؟ فقال : ” شهر الله الأصم ” وروي الأصب . قال أبو عبيد : يعني رجبا ؛ لأن الله تعالى يصب فيه الرحمة صبا ، وسمي أصم ؛ لأن الله تعالى حرم فيه القتال ، فلا يسمع فيه سفك دم ، ولا حركة سلاح وروى عكرمة عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ” صيام أول يوم من رجب كفارة ثلاث سنين ، وصيام اليوم الثاني كفارة سنتين ، وصيام اليوم الثالث كفارة سنة ثم كل يوم كفارة شهر ” .
Fasal :
Bulan Rajab, diriwayatkan dari Rosululloh SAW bahwa beliau ditanya : Puasa manakah yang lebih utama setelah puasa bulan ramadhon? Beliau menjawab : Bulan Alloh yaitu bulan Al-ishommu. Dalam riwayat lainnya bulan Al-ishobbu. Berkata Abu `Ubaid : maksud hadits itu adalah bulan Rajab, ( disebut Al-ishobbu ) karena pada bulan itu Alloh menurunkan rahmat dan disebut Al-ishommu karena pada bulan itu Alloh mengharamkan perang, oleh karena itu pada bulan itu tidak terdengar pertumpahan darah dan pergerakan pasukan.  Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rosululloh SAW bersabda : Puasa pada hari pertama di bulan Rajab adalah sebagai kafarat/ penghapus dosa tiga tahun, puasa pada hari kedua sebagai kafarat/penghapus dosa dua tahun, dan puasa hari ketiga sebagai kafarat/ penghapus dosa satu tahun kemudian puasa tiap-tiap hari (sisanya) sebagai kafarat/penghapus dosa satu bulan.
Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata dalam kitab al-Mughni (3/53):
     قال ابن قدامة في المغني 3/53 : (فصل: ويكره إفراد رجب بالصوم. قال أحمد:وإن صامه رجل, أفطر فيه يوما أو أياما, بقدر ما لا يصومه كله … قال أحمد : من كان يصوم السنة صامه, وإلا فلا يصومه متواليا, يفطر فيه ولا يشبهه برمضان ) اه
“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah puasa. Ahmad bin Hanbal berkata: “Apabila seseorang berpuasa Rajab, maka berbukalah dalam satu hari atau beberapa hari, sekiranya tidak berpuasa penuh satu bulan.” Ahmad bin Hanbal juga berkata: “Orang yang berpuasa satu tahun penuh, maka berpuasalah pula di bulan Rajab. Kalau tidak berpuasa penuh, maka janganlah berpuasa Rajab terus menerus, ia berbuka di dalamnya dan jangan menyerupakannya dengan bulan Ramadhan.”
Ibnu Muflih berkata dalam kitab al-Furu’ (3/118):
     وفي الفروع لابن مفلح 3/118: (فصل): يكره إفراد رجب بالصوم نقل حنبل: يكره, ورواه عن عمر وابنه وأبي بكرة, قال أحمد: يروى فيه عن عمر أنه كان يضرب على صومه, وابن عباس قال : يصومه إلا يوما أو أياما …  وتزول الكراهة بالفطر أو بصوم شهر آخر من السنة , قال صاحب المحرر: وإن لم يله .
“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa. Hanbal mengutip: “Makruh, dan meriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar dan Abu Bakrah.” Ahmad berkata: “Memuku seseorang karena berpuasa Rajab”. Ibnu Abbas berkata: “Sunnah berpuasa Rajab, kecuali satu hari atau beberapa hari yang tidak berpuasa.” Kemakruhan puasa Rajab bisa hilang dengan berbuka (satu hari atau beberapa hari), atau dengan berpuasa pada bulan yang lain dalam tahun yang sama. Pengarang al-Muharrar berkata: “Meskipun bulan tersebut tidak bergandengan.”
DALIL PUASA RAJAB
Dalil Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama yang berpandangan bahwa puasa Rajab hukumnya sunnah sebulan penuh, berdalil dengan beberapa banyak hadits dan atsar. Dalil-dalil tersebut dapat diklasifikasi menjadi tiga:
Pertama, hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan puasa sunnah secara mutlak. Dalam konteks ini, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah (2/53) dan fatwa beliau mengutip dari fatwa al-Imam Izzuddin bin Abdussalam (hal. 119):
     قال ابن حجر كما في الفتاوى الفقهية الكبرى 2/53: (ويوافقه إفتاء العز بن عبد السلام فإنه سئل عما نقل عن بعض المحدثين من منع صوم رجب وتعظيم حرمته وهل يصح نذر صوم جميعه فقال في جوابه :نذر صومه صحيح لازم يتقرب إلى الله تعالى بمثله والذي نهى عن صومه جاهل بمأخذ أحكام الشرع وكيف يكون منهيا عنه مع أن العلماء الذين دونوا الشريعة لم يذكر أحد منهم اندراجه فيما يكره صومه بل يكون صومه قربة إلى الله تعالى لما جاء في الأحاديث الصحيحة من الترغيب في الصوم مثل : قوله صلى الله عليه وسلم {يقول الله كل عمل ابن آدم له إلا الصوم} وقوله صلى الله عليه وسلم {لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك} وقوله {إن أفضل الصيام صيام أخي داود كان يصوم يوما ويفطر يوما} وكان داود يصوم من غير تقييد بما عدا رجبا من الشهور) اهـ
“Ibnu Hajar, (dan sebelumnya Imam Izzuddin bin Abdissalam ditanya pula), tentang riwayat dari sebagian ahli hadits yang melarang puasa Rajab dan mengagungkan kemuliaannya, dan apakah berpuasa satu bulan penuh di bulan Rajab sah? Beliau berkata dalam jawabannya: “Nadzar puasa Rajab hukumnya sah dan wajib, dan dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukannya. Orang yang melarang puasa Rajab adalah orang bodoh dengan pengambilan hukum-hukum syara’. Bagaimana mungkin puasa Rajab dilarang, sedangkan para ulama yang membukukan syariat, tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan masuknya bulan Rajab dalam bulan yang makruh dipuasai. Bahkan berpuasa Rajab termasuk qurbah (ibadah sunnah yang dapat mendekatkan) kepada Allah, karena apa yang datang dalam hadits-hadits shahih yang menganjurkan berpuasa seperti sabda Nabi SAW: “Allah berfirman, semua amal ibadah anak Adam akan kembali kepadanya kecuali puasa”, dan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum menurut Allah dari pada minyak kasturi”, dan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya puasa yang paling utama adalah puasa saudaraku Dawud. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.” Nabi Dawud AS berpuasa tanpa dibatasi oleh bulan misalnya selain bula Rajab.”
Al-Syaukani berkata dalam Nail al-Authar (4/291):
     وقال الشوكاني في نيل الأوطار 4/291: (وقد ورد ما يدل على مشروعية صومه على العموم والخصوص : أما العموم : فالأحاديث الواردة في الترغيب في صوم الأشهر الحرم وهو منها بالإجماع . وكذلك الأحاديث الواردة في مشروعية مطلق الصوم … )اهـ
“Telah datang dalil yang menunjukkan pada disyariatkannya puasa Rajab, secara umum dan khusus. Adapun hadits yang bersifat umum, adalah hadits-hadits yang datang menganjurkan puasa pada bulan-bulan haram. Sedangkan Rajab termasuk bulan haram berdasarkan ijma’ ulama. Demikian pula hadits-hadits yang datang tentang disyariatkannya puasa sunnat secara mutlak.”
Kedua, hadits-hadits yang menganjurkan puasa bulan-bulan haram, antara lain hadits Mujibah al-Bahiliyah. Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam al-Sunan (2/322) sebagai berikut ini:
    عن مجيبة الباهلية عن أبيها أو عمها أنه:أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم انطلق فأتاه بعد سنة وقد تغيرت حالته وهيئته فقال يا رسول الله أما تعرفني قال ومن أنت قال أنا الباهلي الذي جئتك عام الأول قال فما غيرك وقد كنت حسن الهيئة قال ما أكلت طعاما إلا بليل منذ فارقتك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لم عذبت نفسك ثم قال صم شهر الصبر ويوما من كل شهر قال زدني فإن بي قوة قال صم يومين قال زدني قال صم ثلاثة أيام قال زدني قال صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك وقال بأصابعه الثلاثة فضمها ثم أرسلها)
Dari Mujibah al-Bahiliyah, dari ayah atau pamannya, bahwa ia mendatangi Rasulullah SAW kemudian pergi. Lalu datang lagi pada tahun berikutnya, sedangkan kondisi fisiknya telah berubah. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau masih mengenalku?” Beliau bertanya: “Kamu siapa?” Ia menjawab: “Aku dari suku Bahili, yang datang tahun sebelumnya.” Nabi SAW bertanya: “Kondisi fisik mu kok berubah, dulu fisikmu bagus sekali?” Ia menjawab: “Aku tidak makan kecuali malam hari sejak meninggalkanmu.” Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Mengapa kamu menyiksa diri?” Lalu berliau bersabda: “Berpuasalah di bulan Ramadhan dan satu hari dalam setiap bulan.” Ia menjawab: “Tambahlah kepadaku, karena aku masih mampu.” Beliau menjawab: “Berpuasalah dua hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah, aku masih kuat.” Nabi SAW menjawab: “Berpuasalah tiga hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah.” Nabi SAW menjawab: “Berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Mengomentari hadits tersebut, Imam al-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/439): “Nabi SAW menyuruh laki-laki tersebut berpuasa sebagian dalam bulan-bulan haram tersebut dan meninggalkan puasa di sebagian yang lain, karena berpuasa bagi laki-laki Bahili tersebut memberatkan fisiknya. Adapuan bagi orang yang tidak memberatkan, maka berpuasa satu bulan penuh di bulan-bulan haram adalah keutamaan.” Komentar yang sama juga dikemukakan oleh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib (1/433) dan Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).
Ketiga, hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab secara khusus. Hadits-hadits tersebut meskipun derajatnya dha’if, akan tetapi masih diamalkan dalam bab fadhail al-a’mal, seperti ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).
Di antara hadits yang menjelaskan keutamaan puasa Rajab secara khusus adalah hadits Usamah bin Zaid berikut ini:
     في سنن النسائي 4/201: ( عن أسامة بن زيد قال قلت: يا رسول الله لم أرك تصوم شهرا من الشهور ما تصوم من شعبان قال ذلك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان ) اهـ
Dalam Sunan al-Nasa’i (4/201): Dari Usamah bin Zaid, berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak melihatmu berpuasa dalam bulan-bulan yang ada seperti engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?” Beliau menjawab: “Bulan Sya’ban itu bulan yang dilupakan oleh manusia antara Rajab dan Ramadhan.”
Mengomentari hadits tersebut, Imam al-Syaukani berkata dalam kitabnya Nail al-Authar (4/291): “Hadits Usamah di atas, jelasnya menunjukkan disunnahkannya puasa Rajab. Karena yang tampak dari hadits tersebut, kaum Muslimin pada masa Nabi SAW melalaikan untuk mengagungkan bulan Sya’ban dengan berpuasa, sebagaimana mereka mengagungkan Ramadhan dan Rajab dengan berpuasa.”
Keempat, atsar dari ulama salaf yang saleh. Terdapat beberapa riwayat yang menyatakan bahwa beberapa ulama salaf yang saleh menunaikan ibadah puasa Rajab, seperti Hasan al-Bashri, Abdullah bin Umar dan lain-lain. Hal ini bisa dilihat dalam kitab-kitab hadits seperti Mushannaf Ibn Abi Syaibah dan lain-lain.
Dalil Madzhab Hanbali
Sebagaimana dimaklumi, madzhab Hanbali berpendapat bahwa mengkhususkan puasa Rajab secara penuh dengan ibadah puasa adalah makruh. Akan tetapi kemakruhan puasa Rajab ini bisa hilang dengan dua cara, pertama, meninggalkan sehari atau lebih dalam bulan Rajab tanpa puasa. Dan kedua, berpuasa di bulan-bulan di luar Rajab, walaupun bulan tersebut tidak berdampingan dengan bulan Rajab.
Para ulama yang bermadzhab Hanbali, memakruhkan berpuasa Rajab secara penuh dan secara khusus, didasarkan pada beberapa hadits, antara lain:
Hadits dari Zaid bin Aslam, bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Rajab, lalu beliau menjawab: “Di mana kalian dari bulan Sya’ban?” (HR. Ibnu Abi Syaibah [2/513] dan Abdurrazzaq [4/292]. Tetapi hadits ini mursal, alias dha’if).
Hadits Usamah bin Zaid. Ia selalu berpuasa di bulan-bulan haram. Lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Berpuasalah di bulan Syawal.” Lalu Usamah meninggalkan puasa di bulan-bulan haram, dan hanya berpuasa di bulan Syawal sampai meninggal dunia.” (HR. Ibn Majah [1/555], tetapi hadits ini dha’if. Hadits ini juga dinilai dha’if oleh Syaikh al-Albani.).
Hadits dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW melarang puasa Rajab. (HR. Ibn Majah [1/554], tetapi hadits ini dinilai dha’if oleh Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa al-Kubra [2/479], dan lain-lain).
Madzhab Hanbali juga berdalil dengan beberapa atsar dari sebagian sahabat, seperti atsar bahwa Umar pernah memukul orang karena berpuasa Rajab, atsar dari Anas bin Malik dan lain-lain. Tetapi atsar ini masih ditentang dengan atsar-atsar lain dari para sahabat yang justru melakukan puasa Rajab. Disamping itu, dalil-dalil para ulama yang menganjurkan puasa Rajab jauh lebih kuat dan lebih shahih sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.
B. Kesimpulan
Dari penjelasan dari ulama empat madhab sangat jelas bahwa puasa bulan Rojab adalah sunnah hanya menurut madhab imam Ahmad saja yang makruh.
Dan ternyata kemakruhan puasa Rajab menurut madhab Imam Hanbali itu pun jika dilakukan sebulan penuh adapun kalau dibolongi satu hari saja maka kemakruhannya sudah hilang atau bisa disambung dengan sehari saja sebelum atau sesudah Rajab. Dan mereka tidak mengatakan Bid'ah sebagaimana yang marak akhir-akhir ini disuarakan oleh kelompok orang dengan menyebar selebaran, siaran radio atau internet .


والله أعلم بالصواب